BOGOR -- Bayangan rumah bergoyang dan suara bergetar masih menghantui benak Rina (26 tahun), warga Kampung Citalahab, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Potongan kejadian gempa Lebak, Banten, pada Selasa (23/1) melekat kuat dalam ingatan ibu dari satu anak laki-laki itu.
Rina merupakan satu dari 90 kepala keluarga atau sekira 370-an warga yang mengungsi di pengungsian camp Brimob. Rumahnya yang dulu berdiri kokoh di Kampung Citalahab kini hanya tersisa reruntuhan, tidak lagi laik untuk dihuni.
Sehari berselang gempa, Rina kini trauma dengan goncangan. Getaran susulan yang sempat terjadi di wilayahnya membuat Rina ketakutan.
"Kaya tadi siang kan ada gempa lagi. Saya keluar tenda, deg-degan, pusing sampai mual," ucapnya saat ditemui Republika.co.id di pengungsian, Rabu (24/1).
Tidak hanya sekali, guncangan yang dirasakan Rina sampai lima kali. Meski tidak sebesar yang pertama, getaran dari gempa susulan itu sudah cukup membuat kakinya terasa lemas. Tidak ada yang bisa dilakukan kecuali meminta pertolongan kepada Tuhan sembari memeluk anak semata wayangnya, Riska (7 tahun).
Rina tidak sendiri. Trauma mendalam terhadap gempa juga dialami Erni (45 tahun) yang tinggal di pengungsian sama. Nenek dari tiga cucu ini selalu gemetar saat mendengar teriakan gempa. "Panik terus saya," tutur warga asli Kampung Citalahab itu.
Trauma Erni semakin menjadi dengan kondisi pengungsian yang jauh dari rasa nyaman. Atap rumah kini tergantikan dengan tenda pleton dari Brimob. Selimut dan bantal empuk yang biasa ada di kasur sekarang harus dipakai bergantian dan berbagi oleh pengungsi lain.
Bukan enggan bersyukur, tapi ia berharap ada bantuan dari pihak pemerintah untuk membuat pengungsiannya lebih nyaman. Ia merasa sudah menderita akibat kehilangan rumah yang sudah dihuninya sejak lahir.
"Kalau bisa, beri kami kepastian juga tentang rumah kami," ucapnya dengan nada lemas.
Menurut Erni, kenyamanan menjadi poin terpenting dalam mengatasi trauma yang dirasakan pengungsi. Rasa takut akan kembali terjadinya gempa tidak hanya dialami satu dua orang, melainkan sebagian besar pengungsi. Mereka merasa cemas berlebih ketika merasakan sedikit getaran saja.
Bahkan, menurut Erni, pengungsi tidak berani kembali ke rumah masing-masing meski sekadar berkunjung sebentar untuk melihat harta benda tersisa. Sebab, bayangan akan guncangan gempa masih kuat dalam pikiran mereka.
Sumber :republika.co.id
0 komentar:
Posting Komentar