ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan melanjutkan pembicaraan diplomasi via telepon dengan beberapa pemimpin negara membahas krisis Rohingya di Myanmar. Dalam pembicaraan ini, Erdogan menekankan pentingnya kerja sama untuk menyelesaikan krisis kemanusiaan yang dialami Rohingya.
Dalam panggilan terbarunya, Erdogan telah menghubungi Presiden Kazakhstan Nursultan Nazabayev, Presiden Senegal Macky Sall, dan Presiden Nigeria Muhammadu Buhari. Dalam pembicaraan dengan Buhari, Erdogan tak lupa menyampaikan harapan yang terbaik untuk kesehatannya. Buhari diketahui telah menjalani perawatan intensif karena penyakit keras yang diidapnya.
"Pemimpin Turki (Erdogan) juga bertukar salam Idul Adha dengan Presiden Buhari. Kedua pemimpin saling berharap kesehatan dan kesuksesan dalam usaha mereka serta menyampaikan salam dan harapan mereka kepada warga negara sahabat mereka," ungkap juru bicara Presiden Buhari, Garba Shehu, seperti dilaporkan laman Hurriyet Daily News, Ahad (3/9).
Awal pekan ini, Erdogan juga telah membahas krisis Rohingya dengan pemimpin sejumlah negara. Antara lain dengan Pakistan, Iran, Mauritania, Qatar, Arab Saudi, Kuwait, Azerbaijan, dan Bangladesh.
Sebelumnya Erdogan telah menyatakan bahwa kematian ratusan warga Rohingya di Myanmar selama sepekan terakhir merupakan genosida. "Telah terjadi genosida di sana. Mereka tetap diam terhadap ini. Semua yang melihat dari jauh, genosida ini dilakukan di bawah kerudung demokrasi," kata Erdogan beberapa waktu lalu.
Turki diketahui cukup konsen terhadap isu dan krisis Rohingya Myanmar. Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu bahkan telah menyerukan kepada Bangladesh agar membuka pintu perbatasannya dan mengizinkan pengungsi Rohingya memasuki negara mereka.
Seruan ini dilakukan oleh Bangladesh. Pada Sabtu (2/9) berkaitan atau tidak dengan seruan Cavusoglu, pasukan keamanan Bangladesh di zona perbatasan dengan Myanmar mengizinkan pengungsi Rohingya untuk memasuki negara mereka. Ribuan pengungsi pun segera menyeberang menuju Bangladesh untuk menyelamatkan diri dari tindak brutal militer Myanmar.